Mental Health

 Kesehatan mental bukanlah konsep yang merujuk pada psikologi seseorang dan kesejahteraan emosi. Melainkan merupakan status psikologi dan kesejahteraan emosi seseorang dimana seseorang bisa menggunakan kemampuan emosi dan kognitif mereka dengan baik. Berdasarkan WHO, tidak ada definisi yang resmi dari kesehatan mental. Oleh karena itu, ada banyak faktor seperti perbedaan budaya, teori dari para profesional, dan penilaian subjektif yang mempengaruhi bagaimana kesehatan mental didefinisikan. Juga, banyak ahli yang setuju bahwa sakit mental dan kesehatan mental memiliki arti yang berkebalikan. Hal yang dapat diperhatikan dari kesehatan mental adalah melihat seberapa efektif dan sukses perlakuan seseorang. Jadi, ada beberapa faktor seperti merasa kompeten, mampu, dan bisa mengatasi stress dengan level normal, memelihara hubungan baik serta menjalankan hidup yang mandiri. Ini juga termasuk pulih dari situasi yang buruk serta mampu bangkit kembali.

Pada tahun 2016, Indonesia kembali menjadi sorotan dunia, namun dengan alasan yang tidak baik. Organisasi Human Rights Watch menerbitkan laporan yang meng-expose realita yang terjadi terhadap penyandang disabilitas psikososial di Indonesia. Laporan tersebut pun diikiuti dengan rentetan berita dari media asing yang menampilkan foto-foto manusia yang dirantai dan dikurung dalam ruang sempit, atau yang sering kita bilang sebagai “pasung”. “Pasung” adalah praktik untuk membelenggu atau mengurung seseorang dalam ruang sempit (Human Rights Watch, 2016). Meskipun pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang Kesehatan Jiwa sejak tahun 2014, praktik pasung masih saja terjadi hingga sekarang. Hal ini disebabkan karena stigma masyarakat mengenai orang dengan gangguan mental yang masih berakar. Tanpa mendapatkan pertolongan, orang-orang yang dianggap sebagai “gila” tersebut justru diperlakukan dengan tidak layak. Apakah Indonesia sudah melakukan upaya untuk mengatasi hal tersebut?

Undang-Undang no 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa membuat definisi dari orang yang mengalami kesehatan jiwa menjadi dua yaitu Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). OMDK adalah orang yang mempunyai gangguan di bagian fisik, mental, sosial, pertumbahan dan perkembangan, dan kualitas hidup seperti depresi dan kecemasan yang lebih bersifat prefentif sehingga beresiko untuk mengalami gangguan jiwa. ODGJ didefinisikan sebagai orang yang mengalami gangguan pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi sehingga menjadi menderita dan terhambat fungsinya sebagai manusia seperti skizofrenia.

Pada tahun 2017, Indonesia berada dalam ranking bawah dalam masalah penanganan kesehatan jiwa dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya karena kurangnya jumlah Psikiatris yang hanya mencapai hampir 900 Psikiatrir di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga dihadapi dengan masalah sedikitnya petugas kesehatan jiwa (Pols and Wibisono, 2017). Pemerintah menjanjikan 5% dari APBN 2019 untuk diambil menjadi anggaran kesehatan dan hal ini merupakan peningkatan dimana pada tahun 2017, anggaran kesehatan hanya 2.4% dari APBN dan 1% dari nilai tersebut dipakai untuk kesehatan jiwa di Indonesia (Pols and Wibisono, 2017). Dengan alokasi anggaran yang tidak banyak tersebut, terang saja bahwa masih banyak kepercayaan dan stigma akan kondisi kesehatan jiwa di Indonesia. Human Rights Watch melaporkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia, kondisi kesehatan jiwa seseorang khususnya bagi ODGJ dipercayai berasal dari kerasukan roh jahat, karena menjadi pendosa, melakukan perbuatan amoral, atau juga kurang iman (Human Rights Watch, 2016). Karena kurangnya fasilitas layanan medis dan juga kemiskinan di Indonesia, pengobatan tradisional seperti pergi ke dukun dan pengobatan keagamaan menjadi pengobatan alternatif dimana mereka akan dipasung (Human Rights Watch, 2016).

Salah satu stigma terbesar adalah bahwa orang yang masuk rumah sakit jiwa adalah orang-orang yang memiliki gangguan mental sedangkan masalah kesehatan mental sangat beragam seperti depresi dan kecemasan. Sering kali ODMK menutup diri karena diibilang “cari perhatian” atau “lebay” dan mendapatkan perilaku negatif dari orang-orang sekitarnya sehingga mereka menutup diri dari orang-orang (Soghoyan and Gasparyan, 2017). Menutup diri dapat mengakibatkan depresi yang lebih tinggi dan dapat menjadi alasan untuk bunuh diri. Menurut World Health Organization, ada sekitar 800,000 orang di dunia yang bunuh diri setiap tahunnya (World Health Organization, 2018).

Indonesia perlu meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental. Edukasi dan sosialisasi akan hal ini penting untuk mengubah stigma akan orang-orang dengan gangguan kesehatan jiwa dan untuk menutup kemungkinan adanya stereotyping atau labelling yang dapat berdampak lebih bagi gangguan tersebut (Hartini et al. 2018). Komunitas harus lebih erat lagi dan membuka diri untuk cerita-cerita yang dialami anggotanya yang mengalami depresi. Peran pemerintah juga tidak kalah besar. Pemerintah mungkin sudah membuat gerakan seperti “Indonesia Bebas Pasung 2014, 2019” dan sudah membuat aplikasi Sehat Jiwa yang merupakan kerjasama dengan World Health Organization (WHO) untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental, namun pelaksanaan akan Undang-Undang Kesehatan Jiwa harus diasah dan diperbaharui kembali. Pada akhirnya, mereka semua adalah manusia dan adalah tanggung jawab kita sebagai suatu komunitas dan suatu masyarakat untuk saling peduli satu sama lain.


Comments

Popular posts from this blog

Motivation Letter